Selasa, 27 Februari 2018

Urban Legend Kampung MAN (Part 1)


Cerita ini merupakan cerita paling pertama di situs CeritaMistis ini. Semoga kalian menyukainya. Kisah ini merupakan kisah seorang gadis penulis online. Mereka umumnya menulis novel-novel misteri atau horror untuk majalah online bernama “Penakut”. Suatu ketika salah satu anggota mengajak mereka untuk melakukan temu darat. Pengalaman temu darat ini akhirnya membawa mereka ke satu kisah menakutkan.

Ketika membaca cerita seram, orang-orang terkadang bertanya-tanya apakah sang penutur cerita tersebut betul-betul mengalami peristiwa menyeramkan tersebut? Saya selama ini selalu beranggapan bahwa “seram” hanyalah sebuah sebutan. Dia hanyalah sebuah kiasan yang muncul di cerita atau di novel-novel hantu saja. Sampai akhirnya terjadi peristiwa di sebuah kampung. Saya baru sadar, seram itu berada di mana-mana. Mungkin saja kejadian seram bisa terjadi di dekat kamu saat ini.

Hari Pertama : Di Pertigaan

Tanggal 1 Oktober 2007, Saya bersama Laojiu tiba di bandara Taoxian di kota Shenyang. Setelah keluar dari bandara saya melihat ada di antara keramaian ada seorang pria dengan berpakaian T-shirt hitam, mengenakan kacamata hitam, tipikal orang Timur Laut (orang timur laut disini mengacu ke orang Manchuria di Tiongkok), memegang sebuah papan tertulis “Zhenghui”. Saya langsung mengenali orang itu, Feiding. Feiding pun sudah melihat kami.

Dia segera meletakkan papannya dan berjalan mendekati kami. Dia memukul dada Laojiu, “Baru sampai hah? Saya sudah menunggu kalian cukup lama,” sapa dia dengan logat khas orang Timur Laut yang kental. Ternyata peserta lain, Anran dan Kuaidao sudah jalan duluan.

Setelah makan siang kami pun berangkat dengan menumpang bus menuju kota K. Saya sangat penasaran dengan kampung Man ini. Anran waktu itu mengatakan bahwa kalau tempat temu daratnya di tempat wisata biasa, maka kesan tegangnya akan sedikit berkurang. Itu sebabnya yang lain pada setuju dengan usulnya.

Saya duduk di samping jendela tertidur. Sedangkan Laojiu dan Feiding berdiskusi akrab. Di tengah perjalanan, cuaca tiba-tiba berubah drastis. Sekelebat halilintar membelah langit. Bulir-bulir air sebesar kacang jatuh dari langit membasahi bumi. Akhirnya, perjalanan yang seharusnya memakan waktu empat jam, molor menjadi lima jam.

Ketika sampai di kota K, hari sudah sore. Kami bermaksud untuk menginap di kota K dulu, dan besoknya baru melanjutkan perjalanan. Tetapi Anran menelepon kami memerintahkan kami untuk segera pergi ke tempat tujuan hari itu juga. Jangan gegara badai, sehingga molor. Ketua sudah menurunkan perintah, dan kami tidak berani melawan. Jadi kami menghentikan sebuah mobil van untuk menuju Kampung Man.

Sejam kemudian mobil van berhenti di depan jalan bercabang. Dua-dua jalannya menuju ke arah kegelapan. Di depan jalan terdapat sebuah papan batu, tergores tulisan “Kampung Man”. Di sampingnya terdapat sebuah tanda panah yang menunjuk ke arah kiri.

Wajah sang sopir terlihat tegang. Dia segera meminta maaf dan mengatakan bahwa jalan ke depan sangat berlumpur, sehingga ban mobil gampang terjerumus ke dalam, lagipula Kampung Man dapat dicapai dengan jalan kaki selama 20 menit saja. Dia meminta kami turun di sini.

Mau tidak mau kami pun turun dan berjalan kaki di bawah rintik-rintik hujan. Untungnya hujan sudah mulai reda, namun angin kencang tidak berhenti berhembus. Sehingga pepohonan di samping kami terlihat seperti arwah-arwah gentayangan yang sedang menari. Rasa angker dan mistis di malam ini membuat saya merasa sedikit gugup. Untungnya Laojiu dan Feiding terus bercanda sehingga perjalanan 20 menit ini tidak terlalu menyiksa bagi saya.

Setelah melewati jembatan, kami merasa ada yang tidak beres. Hujan terus turun. Dengan bantuan kilat di langit, kami melihat kompleks kampung yang terlihat sudah diterlantarkan.

Di mana Anran mereka? Apakah kami salah jalan? Feiding seperti membaca pikiran kami pun celutuk “Apa kita salah jalan di cabang tadi?” Laojiu geleng-geleng kepala, mengambil ponselnya dan menghubungi Anran. “Kami sudah sampai.” Di seberang terdengar suara Anran, “Sudah sampai? Di mana, saya tidak melihat kalian sama sekali.”

“Kami juga tidak melihat kalian. Kampung ini kok sepertinya tidak ada yang tinggal?” jawab Laojiu.

Anran menjelaskan bahwa kampung ini memang sudah tidak ada penghuninya lagi. Lalu dia pun bertanya apakah ada melihat sebuah gedung putih dengan tiga lantai? Mereka ada di lantai dua. Kami melihat memang ada sebuah gedung putih tiga lantai. Tapi lantai duanya tidak orang!

Deskripsi Anran mengenai gedungnnya, sama persis dengan gedung yang berada di samping kami. Namun entah mengapa kami tidak bisa saling melihat, seolah-olah terpisah di suatu dimensi. Anran pun mulai panik, “Kalian sebetulnya sudah sampai mana sih.” Laojiu pun bertanya kembali, “Di jalan cabang pertigaan, habis itu lewat jembatan, betul kan?”

Anran pun bertanya “Jembatan? Jembatan yang mana?”

Akhirnya kami pun paham apa yang terjadi. Ternyata kami telah melewati jalan yang salah. Namun mengapa bisa salah jalan, padahal sudah mengikuti papan penunjuknya. Kecuali papan penunjuk sudah diganti oleh orang lain!

Tapi, kalau kita salah jalan, mengapa lokasi rumah dan deskripsi kampung ini sama persis dengan yang dibilang Anran? Kalau Anran mereka memang sudah ada di Kampung Man, lalu kami ini berada di mana? Memikirkannya membuat saya bergidik.

Langit yang dari tadi hanya rintik-rintik hujan tiba-tiba berubah menjadi badai hujan lagi. Suara petir memecah keheningan di tengah malam ini. Hujan deras turun tidak henti-hentinya.

Kami dengan terpaksa memasuki gedung putih untuk berlindung dulu satu malam. Tunggu setelah pagi baru mencari Anran mereka. Udara kampung pada malam hari memang dingin. Saya mengeluarkan jaket dari tas saya, tapi masih tetap merasa dingin.

Saya berbalik, dan melihat mereka sudah tidak berdiskusi masalah jalan bercabang tadi, tapi mengenai soal majalah “Penakut” dan masa depannya. Saya tidak bisa menyambung topik pembicaraan mereka, jadi hanya duduk melamun sambil memakan roti saya. Sampai tiba-tiba kilat menyambar dan saya memekik.

Saya melihat seorang pria mengenakan kaos putih yang tidak jauh dari gedung. Dia berdiri diam di sana. Menatap lurus ke saya dengan pandangan penuh kebencian.

Laojiu dan Dingfei kompak berdiri dan bertanya “Ada apa?”

“Ada orang…” pada saat saya balik arah melihat lagi, tidak ternyata di situ kosong tidak ada apa-apa. Gara-gara teriakan tadi, saya pun ditertawakan mereka dan disebut penakut. Jangan-jangan memang saya sedang halusinasi? Bagaimana mungkin?

Saya penasaran dan kembali melihat keluar jendela. Dengan memicingkan mata saya melihat pria tadi berdiri di balkon di rumah di seberang. Di tangannya memegang sesuatu. Kali ini saya tidak berteriak. Saya secara pelan-pelan memukul Laojiu, sambil berbisik “Coba lihat…”

Suasana di ruangan ini menjadi tegang. Dingfei bertanya “Ini kan kampung kosong, bagaimana mungkin ada orang?”

“Mungkin sama seperti kita, dia nyasar ke jalan lain?” pas saat Laojiu berbicara, muncul kilat menyinari dan terlihat tangan yang dipegang sang pria itu…

“Kapak, orang itu memegang kapak!” ujar Feiding gugup. Dalam waktu singkat pria misterius itu pun menghilang dari balik balkon. Laojiu mengerut alisnya, dengan suara kecil dia berkata “Sepertinya malam ini kita tidak akan bisa tidur nyenyak.”

Bersambung Part 2